Dalam pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberikan kewenangan akses terhadap Algoritma rekomendasi konten di platform media sosial seperti TikTok, YouTube, dan Meta. Tujuannya adalah untuk memperkuat pengawasan terhadap penyebaran konten hoaks, ekstremisme, atau konten tidak layak bagi anak-anak.
🔍 Latar Belakang dan Konteks
📡 Perluasan Regulasi OTT dan Platform Digital
RUU Penyiaran digarap karena definisi dan regulasi lama tidak lagi mencakup platform digital dan layanan over-the-top (OTT) seperti Netflix, TikTok, dan YouTube. Menurut DPR, ketidakteraturan ini menimbulkan kekosongan hukum sementara konten vulgar dan eksploitasi masih bebas beredar tanpa sensor yang terstandardisasi. Komisi I DPR berpendapat penting adanya pengawasan yang adaptif terhadap media digital masa kini.
🎯 Kewenangan Akses Algoritma
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tanggal 15 Juli 2025, anggota Komisi I DPR dari Fraksi NasDem, Amelia Anggraini, mengusulkan secara eksplisit agar KPI memperoleh akses terhadap algoritma rekomendasi konten. Dengan akses tersebut, KPI diharapkan dapat meminimalisasi konten ekstrem, hoaks, dan disinformasi yang dikurasi algoritma platform.
🧾 Usul dan Poin Utama yang Dibahas DPR
1. KPI Bisa Akses Algoritma Rekomendasi
- Amelia menegaskan bahwa ide ini masih dalam tahap usulan awal.
- Tujuan utamanya agar KPI bisa memahami bagaimana platform merekomendasikan konten kepada pengguna, sehingga bisa menilai apakah distribusi konten tersebut melanggar norma penyiaran atau berpotensi merugikan publik.
2. Perlunya Transparansi Algoritma
- Nur perhatian dari anggota DPR lainnya (Dave Laksono, Abraham Sridjaja): DPR menyoroti pendekatan negara-negara seperti Kanada, Perancis, dan Singapura yang telah memberlakukan kebijakan transparansi atau audit algoritma platform digital sebagai bentuk regulasi modern.
- Amelia menyarankan regulasi serupa diterapkan di Indonesia dalam RUU ini agar platform tunduk pada audit distribusi konten dan kontribusi terhadap media lokal.
3. Kekhawatiran Overlap Kewenangan
- Abraham Sridjaja dari Fraksi Golkar mengingatkan bahwa regulasi baru tidak boleh menimbulkan tumpang tindih antara KPI, Dewan Pers, dan Kominfo/Komdigi.
- Menurutnya, jika KPI diberikan “super power” mengakses algoritma, fungsi Kominfo dan Komdigi bisa menjadi redundan.
- Abraham pun mengusulkan kemungkinan pemisahan antara regulasi penyiaran tradisional dengan platform digital dalam Undang-Undang terpisah.
📌 Tema Lain dalam RUU Penyiaran yang Dibahas
🆔 Larangan Akun Ganda di Media Sosial
- Anggota DPR, Oleh Soleh (PKB) mengusulkan agar hanya satu akun sosial media diperbolehkan per orang/institusi.
- Tujuan: menekan penyebaran hoaks, buzzer politik, akun anonim dan manipulatif.
🧑🎨 Perlindungan Kreativitas Konten Lokal
- Legislator muda Andina Theresia Narang menekankan bahwa regulasi jangan menghambat kreativitas konten kreator, tapi bertujuan meningkatkan akurasi dan kredibilitas konten dengan tetap menjunjung kebebasan berekspresi.
🤖 Pengaturan Pemanfaatan AI dalam Jurnalistik
- Beberapa pihak, termasuk LKBN Antara, mengusulkan aturan terkait penggunaan AI dalam produksi program siaran agar tetap beretika, tidak manipulatif, dan menjaga integritas data.
✅ Ringkasan Usulan DPR dalam RUU Penyiaran
Isu | Rekomendasi / Usulan DPR |
---|---|
Akses algoritma oleh KPI | KPI bisa mengakses sistem rekomendasi platform (YouTube, TikTok, Meta) |
Transparansi & audit algori ma | Aturan seperti di Kanada dan Perancis untuk audit dan keterbukaan algoritma |
Pembatasan akun ganda | Satu akun per pengguna/institusi untuk mencegah hoaks dan manipulasi |
Perlindungan kreator | Regulasi tidak membatasi kreativitas, tetapi memastikan tanggung jawab |
Regulasi AI jurnalistik | Penggunaan AI harus diawasi untuk menjaga kualitas konten dan data |
Kewenangan lembaga | Hindari tumpang tindih soal KPI, Kominfo, Komdigi, dan Dewan Pers |
Baca Juga : Kisah Galang, Siswa SMK Jadi Konten Kreator Bermodal HP Seharga Rp 2 Juta
🎯 Tantangan dan Implikasi Kebijakan
- Perdebatan soal otoritas regulator: Jika KPI diberi akses algoritma, maka bagaimana batasan dan kolaborasi antar lembaga lain seperti Kominfo?
- Perlindungan privasi pengguna: Akses terhadap algoritma dapat mengandung risiko terhadap data pribadi dan hak privasi publik.
- Teknis implementasi: Apakah platform bersedia membuka kode atau log distribusi konten mereka? Termasuk menghadapi keengganan dari pihak platform global.
- Dampak pada industri kreator: Regulasi yang ketat bisa membuat kreator lokal berhati-hati memproduksi konten, terutama di platform UGC.
📝 Kesimpulan
Usulan DPR dalam revisi RUU Penyiaran mencerminkan kebutuhan untuk memperbarui regulasi agar mencakup platform digital dan OTT dalam era digital yang terus berkembang. Kewenangan akses algoritma rekomendasi oleh KPI adalah salah satu usulan strategis yang bertujuan memperkuat pengawasan konten. Namun, sinergi antar lembaga, perlindungan data pribadi, dan dampak terhadap kreator harus menjadi pertimbangan utama agar regulasi ini efektif tanpa menyusupi kebebasan berekspresi di ruang digital.
Pengawasan konten digital yang transparan akan menjadi tonggak penting dalam memasukkan ketentuan modern ke RUU Penyiaran, selama tetap seimbang antara keamanan publik, kebebasan kreatif, dan hak privasi pengguna.